Seminggu yang lalu, Nurman dan aku datang menghadiri pesta ulang tahun Kristi. Selama di pesta, aku telah minum dua gelas lalu ngobrol bersama Ali, suami Kristi, untuk melepaskan kepenatan yang kualami selama minggu-minggu ini. Ali ternyata pria yang baik. Kurasa ia tidak cocok beristrikan Kristi yang memiliki gaya hidup bebas, selalu mencari kesempatan menggoda pria lain.
Suasana terasa santai diiringi alunan musik yang lembut. Ali menceritakan pekerjaannya sebagai seorang salesman mobil dan gossip-gosip yang sering terjadi di lingkungan pekerjaannya. Ketika kami asyik ngobrol, aku sempat melihat Numan pergi keluar bersama Kristi. Aku curiga. Lalu permisi kepada Ali untuk ke belakang, padahal sebenarnya aku mengikuti kemana Numan dan Kristi tadi pergi. Aku mengendap ke arah dapur dan benar saja kulihat Numan dan Kristi sedang berciuman di dalam sana. Hatiku
panas melihat mereka berselingkuh, tetapi aku terpaksa menahan diri karena tak mau terjadi keributan di pesta ini dan mempermalu diri sendiri.
Aku hanya bisa menyuruh Numan untuk menghentikan semua itu, lalu aku pergi meninggalkan mereka kembali bergabung dengan yang lain sambil menenangkan diri. Kristi memang wanita jalang, aku pernah melihatnya berjalan-jalan di sekitar rumahnya hanya dengan mengenakan kutang dan celana dalam saja, padahal saat itu ada tukang taman yang sedang bekerja. Kelihatannya Kristi sudah biasa melakukan itu dengan Numan.
Ali segera menghampiriku begitu aku kembali dan bertanya "Apa Kristi dengan Numan? Aku sudah curiga selama ini," lanjutnya mulai kelihatan marah.
"Mungkin mereka kebanyakan minum saja," kataku menenangkan suasana agar tidak terjadi perkelahian di antara mereka.
"Jangan berbohong. Aku tahu wanita macam apa dia. Ia memang suka sekali berselingkuh, bertelanjang di hadapan orang lain. Kamu tahu nggak, ia baru mau bercinta denganku kalau ada yang menonton."
"Akh masa sih?" tanyaku tak percaya.
"Masa aku bohong. Mau bukti, ayo deh kita lihat lagi mereka," ajaknya untuk membuktikan.
Ali menarik lenganku sambil memberi isyarat untuk tidak gaduh. Kami berjalan menaiki tangga ke loteng, lau menuju ke kamar mandi, pintunya tidak tertutup rapat. Kudorong perlahan dan kusaksikan di dalam sana Kristi sedang memegang kontol Numan.
"Aku minta kalian segera keluar dari rumah ini," kata Ali dengan geram.
Setelah peristiwa itu, Numan dan aku jarang berbicara. Ia pun kelihatannya tak meu lagi bercinta denganku. Aku pun demikian dan merasa lebih suka dengan keadaan seperti ini. Terus terang saja, kehidupan seks kami kurang begitu membahagiakan. Numan adalah tipe lelaki yang egois. Ia bercinta hanya demi kepuasan sendiri. Sudah menjadi kebiasaannya kala bercinta dengan gaya "tembak langsung". Tak ada cumbu rayu. Tak ada sentuhan lembut dan mesra. Ia langsung tancap, dua-tiga menit kemudian terkulai lemas dan tertidur meninggalkan diriku yang gelisah tak terpuaskan. Akhirnya aku jadi terbiasa setelah bercinta dengannya segera pergi ke kamar mandi dan berjuang sendiri untuk mencapai kenikmatan.
Suatu pagi ketika aku masih bermalas-malasan di ranjang, telepon berdering dan kudengar suara Ali di sana.
"Begini, kurasa kita harus berbicara. Bagaimana kalau nanti siang kamu datang ke kantorku dan makan siang barengan?" ajak Ali.
Rupanya ia masih mempermasalahkan peristiwa itu. Aku segera mengiyakan dan setuju untuk bertemu dengannya di rumah makan dekat tempat kerjanya. Kuperhatikan wajah Ali ketika kami sudah berada di sana. Berwajahnya tampan. Tubuh nya atletiis. Rambutnya lebat dan hitam legam mesti kuperhatikan ada beberapa helai rambutnya yang sudah memutih. Usianya memang tak jauh berbeda dengan suamiku, karena mereka adalah teman sekuliah.
Ali nampak tegang. Beberapa kali ia meneguk minuman beralkohol. Ia pesan beberapa gelas lagi. Meski sudah cukup banyak, kelihatannya ia masih bisa mengontrol diri. Aku minta supaya dia berhenti minum.
"Aku ingin menenangkan diri setelah peristiwa itu. Kamu pun pasti demikian," jawab Ali.
"Minum sedikit khan nggak apa-apa. Sekali-kali." Katanya enteng meski wajahnya nampak menegang.
Lalu ia ngoceh kesana-kemari mengenai tingkah laku istrinya yang selalu berselingkuh, termasuk dengan suamiku. Aku lalu mengutarakan juga permasalahan kehidupan kami. Kukatakan bahwa Numan telah bermasalah sejak perkawinan kami.
"Percayalah, aku ini temanmu. Utarakanlah apa yang menjadi uneg-unegmu," usulnya. "Aku tak akan bercerita kepada siapa-siapa."
Ia lalu memesankan minuman untukku. Begitu hawa hangat mengalir ke sekujur tubuh, aku seakan lepas dari suatu belenggu. Bibirku dengan lancar berceloteh tak karuan, menceritakan kehidupan perkawinan kami, termasuk kehidupan seks yang sebelumnya tak pernah kuungkapkan kepada siapapun juga. Anehnya aku tak merasa malu ataupun takut menceritakan hal yang paling intim ini. Entah karena pengaruh minuman atau rasa percayaku kepada Ali, yang menurutku pantas untuk menampung segala kegundahanku selama ini. Sebaliknya, aku merasa beban yang menyesak di dadaku bobol. Aku merasa plong. Terbebas dari tekanan.
"Aku mengerti. Dia memang lelaki yang selalu mementingkan diri sendiri. Tak pernah mau tahu masalah orang lain," kata Ali menanggapi keluhanku.
Tadinya aku berpikir ia akan menertawakanku atau setidaknya melecehkanku. Tapi tidak. Ia justru begitu prihatin dan terus-terusan mencoba menghiburku dengan kata-katanya yang bijak dan penuh kelembutan sehingga aku merasa semakin percaya padanya. Aku terus mengeluarkan uneg-unegku, sampai-sampai aku berani menceritakan bagaimana suamiku di ranjang. "Selama enam tahun pernikahan kami, aku tak pernah merasakan orgasme setiap bercinta dengannya," kataku tiba-tiba. Aku sendiri heran mengapa ucapan itu sampai meluncur dari mulutku.
"Apa pernah.. nggh.. kamu berpikiran untuk mencari pria yang dapat memberikan kepuasan padamu," tiba-tiba Ali bertanya seprti itu.
"Aku yakin, kau dapat dengan mudah mendapatkannya. Kamu cantik dan menarik. Seksi lagi," lanjutnya entah memuji atau apa.
Aku sendiri terhenyak mendengar ucapannya. Tapi aku tidak marah, malah menanggapinya dengan bercanda pula. "Apa ini sebuah tawaran?" balasku sambil mengerling padanya.
"Kurasa aku tidak mengada-ada. Kamu bisa membalas dendam perlakuan Numan padamu dan aku bisa melakukan yang sama atas perlakuan Kristi padaku," balas Ali.
Entah kenapa sebabnya begitu obrolan ini sudah mengarah kepada perselingkuhan, aku jadi semakin berani. Tanpa sadar, kuteguk lagi minuman beralkohol di hadapanku.
"Oopps, jangan banyak-banyak," kata Ali mengingatkan.
"Itu kuat sekali."
"Nggak apa-apa. Aku ingin tahu rasanya yang kuat," balasku semakin genit.
Aku sendiri kaget dengan ucapanku sendiri. Apa ini karena pengaruh alcohol? Atau..? Akh entahlah.
Rupanya Ali dapat menangkap isyarat dalam ucapanku.
"Aku memang tak sekuat itu, seperti lelaki-lelaki yang lain saja. Tapi kalau kau ingin yang benar-benar kuat dan jantan, ada temanku Bobi. Ia seorang akuntan," kata Ali tanpa tedeng aling-aling, layaknya seorang germo yang tengah menawarkan gigolo kepada wanita kesepian. Seperti diriku?
Sambil meneguk kembali minumanku aku langsung menjawab, "Kurasa kalian berdua saja sekaligus," kataku tanpa tedeng aling-aling juga.
"Kamu serius? Kukira bercanda," kata Ali setengah percaya.
"Kalau aku sudah memutuskan, apapun akan kulakukan. Dengan kalian berdua atau aku mencari yang lain," jawabku meyakinkan.
"Ok, ok. Aku mau. Tunggu sebentar di sini," kata Ali buru-buru untuk kemudian keluar memanggil temannya.
Kulihat Bobi ternyata pria yang biasa-biasa saja. Dari penampilannya tidak mengesankan ia seorang pemuas wanita kesepian. Tubuhnya memang kekar. Kuperhatikan otot-otot lengan atasnya menyembul dari balik kemejanya. Ia katanya sering fitness dan bermain bola. Usianya kutaksir sekitar 25 tahunan. Aku agak kecewa juga. Tapi segera kuhilangkan kesan itu. Bisa saja penampilan membuktikan lain. Dan aku harus membuktikan bahwa ia memang lain dari pada yang lain.
"Halo, sayang. Kenalkan aku Bobi," sapanya penuh percaya diri seakan aku ini pasti menyukainya.
Tanganku segera menyambut uluran tangannya. Kurasakan telapak tanganku tergenggam habis olehnya. Hatiku berdesir membayangkan betapa besarnya bagian yang lain selain tangannya.
"Apakah kalian berdua mampu menangani permasalahanku?" tanyaku bercanda hanya untuk mengalihkan perasaanku yang tak menentu akibat rencana perselingkuhan ini.
"Kelihatannya tidak juga."
"Kuberikan apa yang kau butuhkan," jawab Bobi meyakinkan.
"Hey, aku dulu. Baru kamu, Bob," protes Ali dengan cepat.
"Aku dengar kamu sampai berkali-kali dengan Hanny katanya. Bisa-bisa aku nggak kebagian nanti.."
"Stop, stop," kataku menyela. "apa kalian akan ngobrol di sini terus?" sepertinya aku yang jadi tak sabaran.
"Ok, kalau begitu kita kerurmahku saja. Dekat dari sini. Dari pada sewa hotel," kata Bobi buru-buru.
Akhirnya kami berangkat ke rumah Bobi. Selama 10 menit dalam perjalanan, hatiku gelisah, deg-degan. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi nanti. Seumur hidup baru kali ini aku melakukan perselingkuhan. Itupun baru mau. Semasa gadispun aku tak pernah berkencan dengan macam-macam lelaki karena begitu pacaran langsung kawin. Aku ini tipe wanita kuno, yang tak pernah mengikuti pergaulan masa kini.
"Eh, begini. Beri kesempatan untuk berpikir," kataku kepada mereka.
"Kamu nggak batalin, khan," Tanya mereka berbarengan.
"Nggak, nggak. Tolong tunjukin kamar mandi dan beri waktu sebentar," jawabku segera.
Kulihat kamar itu besar sekali. Kamar mandi berada di pojoknya. Terdengar alunan lembut suara musik.
"Kamu suka tempat ini?" Tanya Ali persis di belakangku.
"Suka sekali, tapi beri waktu sebentar biar aku merasa nyaman," kataku.
"Biar aku saja yang memberikan kenyamanan padamu," bisik Ali seraya merangkul tubuhku dari belakang.
Kurasakan kedua tangan Ali merengkuh diriku. Satu bergerak ke atas payudaraku dan yang lain melingkar di pinggangku. Dengan lembut, tangan Ali meremas buah dadaku sementara yang satunya bergerak lincah menarik ristluting sehingga blouseku merosot jatuh ke lantai. Bibir Ali mencium bibirku dengan hangat. Lidahnya menjulur mencari-cari lidahku. Kembali kurasakan tali kutangku terlepas dan jatuh mengikuti blouseku yang sudah berserakan di lantai. Buah dadaku langsung tumpah ke depan karena bebannya yang terlalu berat. Aku paling bangga dengan bentuk buah dadaku yang cukup besar, menggelantung indah. Begitu kenyal, tegak berdiri. Aku selalu rajin merawatnya.
Bibir Ali mulai turun ke arah leherku, sambil berbisik betapa indahnya bentuk payudaraku. Aku melenguh merasakan sensasi luar biasa dari rayuan mesra dan cumbuan hangat teman sekuliah suamiku ini. Bibrinya terus merambah ke bawah, mengecupi seputar buah dadaku. Aku bagai tersengast listrik kala mulutnya mulai menyedot puting susuku sambil meremas-remas buah dadaku. Tangan satunya lagi berusaha memelorotkan celana dalamku. Mataku terpejam sambil merasakan hisapan mulutnya pada putingku satu per satu. Jemari tangannya tidak tinggal diam. Bergerak lembut ke atas perut, terus turun ke selangkangan. Mengelus-elus lembut bulu-blu lebat kemaluanku. Lalu ujung jarinya mulai menyentuh kelentit yang berada di atas bibir kemaluanku. Nafasku tersengal-sengal, apalagi ia mulai merekahkan bibir kemaluanku yang sudah mulai basah.
"Ayo cepat! Aku nggak tahan lagi," pintaku dengan suara serak berharap-harap.
"Nggak perlu buru-buru. Lebih lama lebih enak," bisik Ali kembali.
Kurasakan bibir Ali bergerak turun, menciumi perutku. Lalu lidahnya terasa menjentik-jentik kelentitku sementara mulutnya mengemot seluruh kemaluanku. Aku merasakan cairan hangat mulai membasahi memekku, mengalir ke bawah. Pinggulku bergoyang liar mengikuti irama cumbuan Ali di selangkanganku. Mencari-cari kenikmatan yang begitu kudambakan sejak dahulu.
"Oohh, sekarang! Masukin cepaatt!" pekikku tak kuat menahan siksaan ini.
Kali ini Ali mau mendengarkan permintaanku. Ia bangkit berdiri sejajar denganku. Kedua kakiku di bukanya lebar-lebar. Kurasakan batang kontolnya menggesek pahaku. Pantatku mengayun ke belakang mencari-cari batangnya.
"Tenang saja. Nggak akan kemana-mana kok," kata Ali yang membuatku semakin tersiksa.
Ali menggesek-gesekkan ujung kontolnya di sepanjang bibir memekku. Sepertinya ia ingin melicinkan jalan masuk. Lalu kurasakan kepalanya ditekan dan sedikit demi sedikit mulai melesak ke dalam liangku. Aku jadi tak sabaran. Sekuat tenaga kudorong pantatku ke belakang sambil menarik pantatnya sehingga tak ayal lagi batang kontol Ali langsung terbenam seluruhnya, sampai-sampai kurasakan buah pelernya menampar buah pantatku.
Kedua tangannya mencengkeram pinggulku, menahan tubuhku sebentar dan kemudian menidurkanku di ranjang dengan posisi tengkurap, sementara pantatku terangkat ke atas. Kepala kontolnya masih terbenam dalam liangku. Ia mulai bergerak kembali. Kontolnya menusuk-nusuk, keluar masuk liangku. Bergerak cepat sekali sampai-sampai aku mulai merasakan desiran kuat dari dalam diriku. Pinggulku bergerak liar mengikuti irama gerakannya dan mencari kepuasan yang belum pernah kurasakan dari seorang lelaki.
Keliaran gerakanku membuat Ali tak sanggup menandingi dan tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tiba-tiba saja kurasakan semburan kencang cairan hangat berkali-kali menyirami seluruh liang memekku. Ali memang tidak dapat disalahkan. Ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk memuaskanku.
Ali langsung tergolek lemas di atas tubuhku, sementara aku berkutat sendiri dalam kekecewaan. Kemudian Ali menggulirkan tubuhnya dari atasku. Kontolnya tampak sudah lemas namun masih mengeluarkan sisa-sisa spermanya, mengalir menelusuri lembah di antara buah pantatku dan berjatuhan ke atas ranjang.
"Maafkan aku," kata Ali lesu.
"Tadinya kuberharap bisa membawamu ke puncak kenikmatan."
"Untung ada saya," tiba-tiba terdengar suara Bobi dari belakang Ali.
Aku melirik ke atas dan mataku langsung terpana ke arah selangkangannya.
Hampir-hampir aku tak percaya dengan mataku sendiri. Aku segera membalikan tubuhku hingga terlentang agar bisa memandang dengan jelas batang konotl miliknya yang luar biasa. Jarang-jarang ada lelaki yang memiliki kontol sepanjang itu, jeritku dalam hati. Dengan refleks, kedua tanganku menutupi selangkanganku. Oh tak mungkin, bisa robek liangku nantinya. Ah jangan! Jeritku dalam hati.
"Jangan dekat-dekat! Pergi sana.. nggak mungkin.. oh aku tak sanggup," pekikku panik melihat batang yang ia acungkan ke arahku.
Panjangnya sampai ke atas perut. Lingkarannya saja demikian besar, sampai-sampai tangan Bobi sendiri tidak bisa memegang seluruhnya. Kedua buah pelernya menggelantung seperti buah kelapa kecil. Moncong kepalanya nampak mengkilat, membuat batang itu tampak semakin besar. Bobi tersenyum bangga melihat diriku yang ketakutan oleh "kebesaran", miliknya.
"Kelihatannya ia takut., Al. dia nggak tahu kalau lubangnya itu elastis. Pasti muat," kata Bobi kepada Ali.
"Lagi pula aku sudah siapkan ini."
Bobi mengeluarkan sebuah tube berisi jelly pelicin dan mengusapkannya ke seluruh batang kontolnya.
"Hati-hati, Bob. Jangan sampai menyakitinya," kata Ali dengan perasaan iri melihat kejantanan temannya itu.
"Tenang saja. Kita cari jalan yang mudah, biar dia sendiri yang datang padaku," kata Bobi seraya berbaring di ranjang.
Batang kontolnya dia acungkan ke atas sambil menambah jelly hingga benar-benar licin. Benar juga, pikirku. Kalau aku di atas dapat mengontrol sesukaku. Jelly itu pasti membantu banyak, lagipula bila sakit, tinggal lepaskan saja. Dengan malu-malu, kusentuh batang itu. Kontol Bobi langsung bereaksi begitu terkena sentuhan tanganku. Telapak tanganku tak mampu memegang seluruh batangnya. Kukocok perlahan, naik turun. Nampak cairannya mulai menetes dari ujung kepalanya. Aku coba untuk menciumnya. Terasa asin namun memberikan rangsangan yang luar biasa. Aku jadi penasaran.
Kemudian aku naik ke atas ranjang dengan posisi jongkok mengangkanginya. Batang kontolnya menempel di atas perutku. Posisinya masih terlalu tinggi. Aku jadi berpikir, batang sepanjang ini mana bisa masuk. Untunglah Ali datang membantu. Ia angkat tubuhku, lalu menurunkannya ketika batang Bobi sudah tepat berada di antara liang memekku. Bobi ikut membantu dengan membuka bibir memekku lebar-lebar.
"Turunkan. Pelan-pelan..", katanya kepada Ali.
Liang memekku sudah terbuka lebar-lebar. Tubuhku turun perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit ujung kontolnya mulai melesak ke dalam. Terasa batang mirip pemukul base ball ini dijejalkan secara paksa. Aku mencoba mengangkangkan kedua kakiku selebar-lebarnya. Aku melenguh merasa kesakitan. Tetapi nampaknya aku tak perduli dengan rasa sakit ini dan membiarkan tiang pancang itu terus terbenam.
"Aduuhh.. jangaan.. nggak bisaa!"
Ali terus menekan tubuhku ke bawah. Aku memekik kesakitan. Liang memekku serasa dibelah, dibuka lebar-lebar menyambut tusukan batang itu. Rahangku serasa kaku diaktupkan sedemikian rupa untuk mengalihkan siksaan ini. Mataku terpejam rapat-rapat. Sementara Ali terus menekan tubuhku hingga akhirnya terdengar ia tertawa senang.
"Yaa.. udah masuk semuanya," teriaknya girang sambil melepaskan tekanan tangannya paa tubuhku.
Kubuka mataku dan melirik ke bawah. Kulihat batang besar itu menancap habis. Liang memekku sepertinya sudah habis batas bukaannya. Ujung moncongnya sampai terasa ke ulu hati, memenuhi seluruh rongga rahimku. Aku yakin kedua lelaki itu pasti melihat bagaimana ekspresi wajahku ketika kulihat liang memekku disumpal benda raksasa. Tadinya aku khawatir menemukan cucuran darah akibat tusukan benda itu.
Bobi nampak terlihat santai. Kedua tangannya diletakan di belakang kepalanya seperti bantal dan tersenyum kepadaku seakan terhibur. Aku mulai terbiasa dengan keberadaan benda besar di dalam diriku, meski dengan susah payah.
"Ouhh.. oh.. oohh..", aku melenguh tak henti-hentinya setiap kali batang Bobi bergerak keluar masuk.
Tubuhku bergerak naik sampai batas kepala kontolnya. Kulihat ke bawah jauh sekali jaraknya. Aku tak bisa membayangkan berapa senti panjang kontol milik Bobi ini. Lalu tubuhku turun perlahan sampai semuanya terbenam dan begitu seterusnya dengan kecepatan semakin lama semakin cepat.
"Ayo goyang terus!" teriak Bobi dari bawah sana.
Pantatku turun naik dan bergoyang-goyang mengimbangi tusukannya. Pengalaman yang luar biasa ini memberikan kenikmatan yang lain dari pada yang lain. Rasanya aku tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tangan Bobi meremas-remas buah dadaku dan menciuminya. Menyedot habis putingku. Aku tepaksa merebahkan tubuhku di atasnya karena lemas terus-terusan berjongkok. Kurasakan bibirnya menciumi seluruh wajah dan tubuhku. Batangnya yang keras bagai besi baja itu menggesek habis seluruh dinding liang memekku. Aku menggerinjal saking nikmatnya.
Baru kali ini aku merasakan nikmatnya bersetubuh selama 6 tahun menikah. Rasanya aku menjadi kaku oleh sensasi-sensai luar biasa yang menggerayang ke sekujur tubuhku. Mendadak semuanya menjadi kabur, aku sudah tak tahu lagi berada di mana sampai akhirnya kurasakan ledakan-ledakan beruntun dari dalam tubuhku. Oh sungguh luar biasa! Ledakan itu terus berlangsung. Aku mencapai puncak kenikmatan untuk pertama kalinya dalam bercinta. Rasanya jauh sekali bila dibandingkan dengan permainan tanganku sendiri saat bermasturbasi.
Sensasi itu semain bertambah saat tubuh Bobi mengejang. Kurasakan batangnya semakin mengeras dan membesar. Mendadak kurasakan semburan kencang cairan hangat menyirami seluruh rongga mememku. Rasanya aku bisa mencapai puncak kembali dengan sensasi ini. Dan benar saja kembali tubuhku bergetar kencang diiringi ledakan-ledakan, namun tidak sekencang sebelumnya.
Aku terkulai lemas tak berdaya. Mataku terpejam erat sambil memeluk tubuh kekar Bobi. Hatiku tak henti-hentinya memuji kejantanan lelaki ini. Benar-benar memberikan kepuasan yang luar biasa. Sambil berbaring, aku melirik ke samping melihat Ali sambil duduk di kursi mengocok kontolnya sendiri.
Aku menyuruhnya untuk mendekat kepadaku. Ali datang sambil memegang kontolnya diarahkan ke mulutku. Aku langsung menghisapnya sambil mengocok. Dua tiga kali kocokan dibarengi jilatan lidahku, Ali mencapai puncaknya dan menyemburkan cairan hangat dan kental ke seluruh wajahku. Ia pun terkulai jatuh ke atas tubuh kami.
Kami terkulai lemas bertumpukan di atas ranjang dengan wajah memperlihatkan kepuasan. Dalam hati aku berterima kasih kepada mereka berdua yang telah memberikan pengalaman baru dalam hidupku.
Ternyata masih ada kenikmatan di luar sana, pikirku dalam hati ketika sudah berada di rumah. Kulihat di samping, Numan suamiku tergolek tidur pulas, sementara aku tengah berpikir kapan lagi bisa bertemu Bobi sambil mempermainkan kartu namanya di tanganku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
You Comment I Follow