Pengikut

Gairah Pertamaku

Kesan pertama melakukan sesuatu bagi orang yang belum pernah dialamainya, sungguh sangat mengasyikkan. Begitu pula dengan kesan pada pengalaman pertamaku merasakan hangatnya tubuh wanita, yang mana terjadi pada waktu aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Walau sekarang aku bekerja di bidang travelling di kota Jakarta dan menjabat sebagai eksekutif di perusahaan tersebut, namun pengalaman pertama mencicipi nikmatnya cinta sungguh sulit dilupakan.

Waktu itu aku lagi suntuk, baru masuk kuliah 5 bulan. Selesai mengikuti ujian semester yang melelahkan, aku menghabiskan waktu bermain billyard di diskotik Crazy Horse Jl. Magelang Km 4 Yogyakarta. Mungkin dari para pembaca ada yang pernah kuliah atau pernah tinggal di Yogyakarta pasti tahu diskotik tersebut. Aku dengan dua teman kostku bermain sampai 10 game, dan waktu sudah 
menunjukkan pukul 11:30 malam. Kami sepakat untuk mengakhiri main billyard dan bersiap untuk pulang. Namun sewaktu aku akan membayar di kasir, sempat kulihat ada seorang wanita muda masuk ke tempat billyard tersebut dan langsung menghampiri salah satu meja yang ada di sana. Aku hanya berpikir mungkin salah satu score girl yang bekerja di tempat itu, lalu aku pun acuh saja dan berjalan menuju pintu keluar bersama kedua temanku.

Tidak sampai semenit, terdengar ada kegaduhan di salah satu meja billyard, serempak kami menoleh ke arah situ dan kulihat wanita muda yang baru masuk tadi sedang memaki-maki seorang laki-laki yang saat itu sedang memangku salah satu score girl. Kami bertiga jadi tercengang melihat keributan itu, apalagi sewaktu perempuan muda yang ternyata cantik itu menampar pipi pria yang sedang dimaki-maki tersebut. Kemudian si wanita langsung berlari menuju pintu keluar sambil menangis, melewati kami yang masih terperangah. Kami pun akhirnya juga keluar menuju tempat parkir motor. Aku mengendarai sendirian, sedang kedua teman kostku itu berboncengan.

Baru 500 meter dari tempat billyard tersebut, kami yang tadinya berkendara motor sambil mengobrol terkejut begitu melihat wanita muda yang menampar seorang pria di tempat billyard tadi, terpaku berdiri di pinggir jalan sambil terisak menangis.
Salah satu temanku menegur si wanita, "Mbak udah malam begini mau kemana..?"Tapi si wanita itu hanya menutup wajahnya dan tangisannya terdengar semakin keras. Kami saling bertatapan. Melihat gelagat begitu, aku meberanikan diri untuk menghampirinya.
"Maaf Mbak, kami bertiga nggak ada niat jahat, cuma mau menawarkan bantuan, kalau memang Mbak mau kami bisa mengantar Mbak pulang." ujarku sungguh-sungguh.
Melihat tetap tidak ada komentar dari si wanita, aku pun kembali menyambung, "Bagaimana Mbak..? Saya serius, tapi kalau memang Mbak nggak mau ya sudah kami nggak bisa memaksa. Lagian apa Mbak nggak khawatir sudah larut malam begini masih di tengah jalan, kalau kelihatan orang Mbak lagi menangis, bagaimana nanti..?"

Kami bertiga saling pandang menunggu jawaban dari dia, lalu si wanita itu pun mengangguk tanpa satu patah pun kata keluar dari mulutnya. Karena yang mengendarai motor sendirian itu aku, dia pun membonceng naik ke motorku.
"Pram, aku tak pulang dulu ya? Udah malam nih, berani kan kamu sendiri?" salah satu temanku bertanya kepadaku.
"Ya udah nggak apa-apa kok, kalian pulang duluan saja..!" jawabku.
Lalu kami berpisah, kedua temanku langsung meluncur pulang ke kost, sedang aku akan mengantar pulang si wanita muda itu.
"Rumah Mbak dimana..?" aku bertanya memecah kebisuan di antara kami.
"Terus saja ke arah selatan." jawabnya singkat dan terdengar sengau karena sambil menangis.

Jalan-jalan di kota yang terkenal dengan kota gudegnya itu pada waktu malam sudah sepi, aku mengendarai motorku perlahan menunggu petunjuk dari wanita di belakangku ke arah mana dia pulangnya. Kurang lebih 10 menit dia diam saja.
Aku kembali bertanya, "Maaf Mbak, di daerah mana sih rumahnya..?"
Si wanita hanya terdengar menghela nafas, "Taulah Mas, aku malas pulang, terserah Mas mau mengajak kemana." jawab si wanita sekenanya.
Terus terang aku jadi bingung dengan jawabannya itu. Maksudku benar-benar ingin mengantar dia pulang malah jawabannya begitu. Jujur saja dahulu aku masih polos dan lugu, belum mengerti dan bodoh untuk jawaban seorang wanita seperti itu. Kalau sekarang sih justru aku yang menawari menginap di hotel atau motel.

Setelah 15 menit berputar-putar, aku bingung mau diajak kemana nih orang..?
Akhirnya aku hanya bilang, "Mbak, sudah semakin malam nih, bagaimana..? Aku musti pulang, soalnya besok pagi aku harus kuliah."
Setelah terdengar terbatuk kecil, dia menukas, "Mas kost kan..? Kalau nggak keberatan, aku ikut Mas ke kost aja, tapi kalau nggak mau ya aku turun disini saja deh, nggak apa-apa kok."
Aku jadi semakin bingung dengan jawabannya itu.
"Ah gimana ya..? Nggak apa-apa nih kamu ke kostku..?" tanyaku setengah tidak percaya.
Sebagai jawabannya, si wanita yang duduk membonceng di belakang motorku itu malah melingkarkan tangannya memeluk pinggangku. Mimpi apa aku semalam sampai ketemu wanita macam begini.

Aku menjalankan motorku ke arah kost sambil tubuhku merinding, karena dua bola daging di dada si wanita itu menyentuh punggungku begitu dia merapatkan tubuhnya memeluk tubuhku. Sesampainya di kost, kulihat kamar kedua teman kostku sudah gelap, menandakan mereka sudah terlelap. Rumah kostku memang hanya dihuni bertiga, pemilik rumah tidak tinggal disitu, jadi kalau ada teman atau saudaraku yang menginap disitu, mau tidak mau ya tidur di kamarku. Begitu juga yang kualami sekarang, aku jadi bingung, masak sih aku tidur satu kamar dengan perempuan yang belum kukenal?

Setelah membersihkan badan dan mengganti baju, aku menawari dia minum, "Mau minum apa Mbak..?"
Sambil tersenyum manis dia hanya menyahut, "Air putih saja lah, tapi ngomong-ngomong maaf ya aku jadi merepotkan."
"Allaa .. nggak apa-apa." ujarku, namun di dalam hati aku berdebar bagaimana ya nanti aku tidur satu kamar dengan wanita yang baru 2 jam kukenal.
Setelah bisa menenangkan hati, aku menyambung, "Oh iya Mbak, mau ganti baju..? Pakai saja kaosku, sebentar ya kuambilkan, oh iya kalau Mbak mau mandi, biar aku ambilkan handuk sekalian ya..?"
"Aduh Mas, sudahlah jadi ngerepotin nih, sebenarnya sih kalau bisa aku juga mau pinjam celana pendek saja, boleh..?" si wanita berkata dengan wajah masih sembab.
"Nggak apa-apa kok, sekalian aja ya? tapi kalau baju dalam cewek aku nggak punya." ujarku sambil tersenyum memberanikan diri menggodanya.

Si wanita tertawa geli mendengar perkataanku tadi.
"Aduuh.., cantik sekali jika dia tertawa.." kataku dalam hati.
Sambil tersenyum, si wanita mengulurkan tangannya dan berjabat tangan denganku, "Widya." dia memperkenalkan diri.
"Namaku Pram, nama kamu bagus Mbak." jawabku sekaligus memuji namanya sunguh-sungguh.
Dia hanya tersenyum menanggapinya, lalu diambilnya celana, kaos dan handuk dari tanganku dan langsung menuju kamar mandi.

Sambil menunggu Widya mandi, aku menata kamar, kuambil bantalan sofa di teras dan kuatur sedemikian rupa berjejer di lantai membentuk tempat tidur. Beberapa saat kemudian Widya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos dan celana pendekku yang terlihat kebesaran, jadi terlihat lucu di mataku, namun bagiku tetap terlihat cantik dan manis. Kemudian kami pun terlibat obrolan hangat di serambi depan kamarku, sambil menikmati minuman hangat yangkusodori.

Kuperhatikan Widya memang cantik, putih dengan rambut sebahu diikat dengan karet gelang, dadanya membusung penuh, bibirnya merah segar walau tanpa polesan lipstik maupun kosmetik lainnya. Tingginya sekitar 165 cm, dengan body yang bagiku sangat proposional. Kutaksir umurnya walau lebih tua dariku tapi tidak lebih dari 25 tahun. Dia menceritakan bagaimana tadi dia sakit hati dengan pacarnya yang sedang memangku wanita lain, bagaimana sikap pacarnya itu akhir-akhir ini. Pokoknya dia mencurahkan semua isi hatinya kepadaku, dengan rokok yang tidak berhenti mengepul dari bibir seksinya, sedang aku hanya termangu mendengarnya.

Tidak terasa 1 jam lamanya kami mengobrol dan mataku semakin terasa berat.
Lalu aku memotong pembicaraanya, "Mbak, aku mau tidur dulu ya..?" kataku dan Widya masih asyik dengan sebatang rokoknya.
"Oh ya, silahkan Mas, nggak apa-apa, kan aku masih mau menikmati malam ini..!" jawabnya.
Kemudian aku masuk ke kamar, kutinggalkan Widya yang masih duduk di teras depan kamarku, langsung kurebahkan tubuhku di bantalan sofa yang kuatur sedemikian rupa di lantai membentuk tempat tidur.

Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku terbangun karena merasakan geli di sekitar selangkanganku. Masih setengah sadar kurasakan ada sesuatu yang membuat kelakianku berdenyut-denyut bercampur geli. Begitu kubuka mataku, bagai disambar geledek rasa terkejutku, di keremangan lampu tidur, aku melihat Widya menindih pangkal pahaku dan jari di tangannyayang mungil itu tengah mengelus-elus batang kejantananku yang sudah terbuka lepas dari celanadalamku, sedang sarung yang biasa kupakai kalau aku tidur itu sudah terbuka seluruhnya. Sedang bibir dan mulutnya tengah asyik menciumi pangkal dari kemaluanku.

"Mbak..! Kk.. kkhh.. kamu lagi.. lagi.. ngapain..?" kata-kataku tercekat di kerongkongan menyadari semua ulahnya.
Sungguh kupikir aku sedang bermimpi, namun begitu kucubit pipiku sendiri terasa sakit, baru aku sadar itu memang nyata. Ya Tuhan! terus terang aku benar-benar memang belum pernah diperlakukan demikian oleh wanita, walau sudah 2 kali pacaran.

Begitu tahu aku sudah terbangun dan sadar sepenuhnya, Widya melirik ke arah bola mataku, dia tersenyum sambil tangannya tetap mengelus batang kemaluanku.
"Hmm.., boleh kan aku memberi sesuatu sekedar membalas kebaikan kamu..?"
Tubuhku gemetar dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Perlahan aku berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuhnya.
Masih tergagap aku menanggapinya, "Ta.. tt.. tapi, eeng.. Mbak.. ee.. kamu.., eh, Mbak nggak perlu begini.."
Perlahan Widya beringsut ke atas dan berbisik pelan di telingaku, "Mbok jangan panggil aku Mbak dong..?" sambil jemari di tangannya masih tetap mengelus rudalku.

Usahaku untuk melepaskan diri sepertinya semakin sulit, karena tubuh Widya sekarang sudah menindih tubuhku."Lalu..? Aku.. ee.., musti panggil apa..? Kan umur Mbak lebih tua..?" tanyaku terbata-bata.
Tangan Widya sekarang mulai mengurut kemaluanku perlahan dari atas terus ke bawah, demikian berulang-ulang. Sontak aku kelojotan menerima perlakuannya.
"Terserah deh.., mau panggil apa, yang penting aku sekarang mau memberi hadiah spesial buat kamu sayang, pasti kamu akan sangat menikmati."
Suaranya terdengar sangat seksi di telingaku, karena memang saat itu mulutnya sedang menciumi daerah belakang telinga kiriku. Mataku terpejam menikmati buaian gairah dan hembusan kenikmatan yang diberikan Widya melalui remasan tangan di batang kemaluanku.

"Mbak.., oohh.. akhh.. aa.. aku.. belum pernah.. eengg.. belum pernah dii.. ee.. begini.. sama.. ee.. perempuan.., Mbak.." masih tergagap aku dengan polosnya terus terang ke padanya.
Sementara batang kejantananku tambah berdenyut keras diremas-remas dan diurut oleh tangan Widya yang bagiku sangat terampil.
Kuperhatikan Widya tersenyum, "Aku tau sayang, kamu memang baik, sangat baik malah, dan kamu sangat polos, aku sangat.. hmm.. aku senang jika aku bisa merasakan keperjakan laki-laki yang masih lugu seperti kamu.." kata-kata terakhir Widya terdengar malu-malu.
"Tapi Mbak, eengg.. apa Mbak.. ee.. nggak merasa bersalah..? Kan Mbak sudah punya pacar..?" sahutku.
Kembali dia tersenyum dengan manisnya, lantas Widya menjawab, "Sudahlah Pram sayang, jangan omongin dia lagi ya..? Pokoknya aku malam ini milik kamu, titik..! Lagian kan aku tadi bilang kalau.. eeng.. terus terang saja, aku ingiinn banget mencicipi keperjakaan.. hhmm.. jangan marah ya..?"

Mendengar perkataan Widya tadi, aku jadi senang, "Kenapa mesti marah..?" kataku dalam hati.
Selesai Widya berkata begitu, mulutnya mulai mendarat di bibirku, dilumatnya bibirku dengan lembut, kubalas lumatan bibirnya dengan penuh gairah, sementara jemari tangannya semakin keras mengayunkan batang kemaluanku naik turun. Perlahan dilepaskan lumatan mulutnya pada mulutku, bibirnya menelusur perlahan ke arah leherku, terus ke bawah bermain di sekitar dadaku, dijilatinya puting di dadaku. Aku kegelian.

Setelah puas bermain di dadaku, mulut Widya terasa menjalar ke bawah melewati perut langsung ke pusat kemaluan di selangkanganku. Kulirik ke bawah bertepatan dengan saat itu matanya sedang menatapku, lalu dia tersenyum, membuka mulutnya dan sedetik kemudian, "Aaahh.. God..!" jeritku dalam hati, karena mendapati bibir mungilnya yang terbuka tadi sudah mencaplok kepala di batang rudalku. Diturunkan kepalanya dan otomatis batang kemaluanku terus tenggelam di dalam mulutnya. Demikan terus mulut Widya menghisap kemaluanku.
Di sela hisapan dan jilatan mulutnya, Widya memuji kemaluanku, "Pram.., hmm.. aku sudah menduga.., hhmm.. punya kamu ini paling nggak ada 16 cm, lumayan sih.. tapi eengg.., lingkarannya ini lho, wahh..! Bisa dibayangin.., tanganku aja nggak muat megangnya, apalagi.. enngg.., masuk ke memekku yah..?" malu-malu Widya mengatakan begitu dengan wajahnya yang bersemu merah.

"Mbak.., oouuhh.., Mbak.. enak Mbak, mulut kamu bikin punyaku kayak mau meledak nih..!" desahanku keluar karena tidak tahan dengan mulut dan bibirnya yang menggarap sekujur rudalku.
"Jangan Pram! Jangan meledak sekarang! Ntar aja ya.., di dalam punyaku..?"
Kontan Widya menyudahi aksinya, lantas dia menyambung perkataannya, "Ngomong-ngomong, kamu belum pernah kan mencicipi kemaluan cewek..? Mau nggak..?"
"Glek!" aku hanya menelan ludah membayangkan tawaran yang selama ini hanya dalam mimpiku.
"Eee.., kayak apa sih rasanya..? Di film BF kayaknya nikmat banget menjilat memek cewek.."
Widya tertawa geli mendengar kepolosanku, "Memang kok, makanya dicobain deh, sebentar ya..?"

Widya bangkit dari tubuhku, dia berdiri di atasku dan tanpa malu-malu lagi Widya melorotkan sendiri celana pendek yang dikenakannya sekaligus celana dalamnya, namun kaosnya tidak ikut dilepas. Melihat aksi wanita cantik itu, aku hanya bengong dan berkali-kali menelan ludah menahan nafsu yang kian memburu. Lalu tanpa diduga, Widya berdiri tepat di atas wajahku yang masih tiduran di lantai, dikangkanginya kedua kaki jenjang milik Widya itu, hingga bulu-bulu lebat di sekitar selangkangannya jelas terlihat yang diantara bulu-bulu tersebut terlihat menyempil secuil daging kemerahan menutupi lubang kemaluan milik Widya yang sangat indah.Sepertinya Widya membiarkanku menikmati sesaat pemandangan indah yang baru kali ini kunikmati.

Sambil tersenyum, perlahan Widya menurunkan tubuhnya, berjongkok di atas dadaku. Sudah ratusan kali aku menelan ludahku sendiri menahan gejolak gairah yang benar-benar baru pertama kali sensasi yang diperlihatkan wanita seperti ini dalam hidupku. Dengan posisi dimana Widya duduk di atas dadaku, kemaluan Widya yang hangat dengan bulunya yang lebat dan sedikit kebasahan terasa menyentuh kulit di dadaku. Perlahan dibuka kedua paha Widya semakin melebar, memperlihatkan semakin jelas bentuk kemaluan seorang wanita, karena kemaluan Widya sekarang hanya berjarak sekitar 10 cm di depan wajahku.

Kuperhatikan dengan seksama, "Ooo, begini toh memek cewek itu..!" kataku dalam hati.
Tampak jelas sekarang secuil daging kemerahan yang tadi terlihat, yang ternyata adalah bentuk dari bibir luar kemaluan wanita. Terlihat sedikit terbuka, memperlihatkan bibir bagian dalam lubang kemaluan milik Widya tersebut. Sementara di bagian pucuk atas bibir kemaluan itu bertengger dengan indahnya secuil daging berwarna merah muda menonjol keluar. Aku menduga ini pasti klitoris atau kelentit wanita.

Ada sekitar 3 menit aku terpana memperhatikan semua pemandangan dahsyat yang baru kali ini kunikmati dalam hidupku.
"Aduuhh..!" aku menjerit kecil kaget ketika tangan Widya mencubit pipiku.
"Iiihh.., kamu ngeliatin apa sih Pram..?" Widya bertanya pura-pura tidak tahu.
Wajahku terasa panas menahan malu.
"Cuma mau dilihatin aja ya..?" kembali Widya membuatku sedikit kikuk.
"Eehh.. ohh.. nggak, habis punya kamu bagus sih..!" aku menjawab sekenanya, karena tidak tahu apa yang harus kukatakan.
"Ah masa sih..?" sahutnya, lalu seperti memancing gairah kelakianku, jari telunjuk di tangan Widya mengusap-usap bagian klitorisnya sendiri, dipelintir sedemikian rupa hingga sepertinya benda kecil di kemaluan Widya itu tambah mencuat keluar.

"Masa sih memekku bagus heh..? Bagus apanya..? Kalau bagus kok cuma diliatin aja..? Heh..?" Widya menyambung perkataannya yang terdengar suaranya sangat seksi.
Selesai berbicara, perlahan Widya menggerakkan pantatnya beringsut ke depan, menyodorkan kemaluannya seperti dipersembahkan kepada mulut dan bibirku. Sekarang jarak liang vagina Widya dengan wajahku hanya tinggal sekitar 5 cm. Dan kontan merebak aroma khas kemaluan seorang wanita menusuk hidungku. Sebuah aroma dan bau yang juga baru kali ini aku merasakannya. Begitu harum dan lembut seperti bau daun pandan. Sesaat aku memejamkan mata menikmati aroma yang tercium lembut, gurih menembus hidungku.

"Iiihh.., nih anak..! Ngapain sih..? Kayaknya kok dari tadi cuma ngeliatin aja, sekarang cuma mencium baunya aja..!" suara Widya sontak membuyarkan lamunanku.
Kulihat wajahnya terlihat cemberut. Aku tersenyum melihat ulahnya.
"Iya Mbak! Mosok nggak boleh sih aku menikmati dulu harumnya kemaluan Mbak..? Beneran kok Mbak, memek Mbak haruumm.. banget..!" aku mencoba merayu Widya.
Langsung ditanggapi olehnya, "Iya apa..?! Tapi katanya mau mencoba ngerasain memek cewek, kok didiamkan aja, lagian.. Ooouuhh Pram..! Ouuffsshh.. aduhh nakal kamu..! Yaahh.., gitu dong.. sshhtt..!" omongan Widya terputus begitu aku mulai mengangkat kepalaku guna menjulurkan lidahku dan menjilat bibir luar kemaluannya, karena aku sendiri sebenarnya sudah tidak sabar ingin segera merasakan dan mencicipi bagaimana sih rasa kemaluan wanita.

Lubang kemaluan Widya yang sudah setengah merekah itu begitu mengundang hasratku untuk menyusupkan lidahku ke dalamnya. Perlahan kusapu bibir kemaluan Widya bagian bawah, dan.. eehh ternyata ada sedikit kebasahan disitu, sejenak kukecap kebasahan berupa lendir bening yang dikeluarkan liang surga milik Widya itu.
"Hhmm.., lezat sekali..!" kataku dalam hati sambil meresapinya.
"Ehh Mbak, ee.. enak juga ya Mbak..?" ujarku sambil menikmati rasa gurih lendir itu.
Sambil merintih manja, Widya menyahut, "Ouuhh Pram.., itu baru lendir pelumas aja, coba dehnanti.. oohh.. sstt.. kamu akan tambah menikmati lendir yang keluar kalau aku orgasme nanti, makanya kamu harus berusaha membuatku puas, Pram..!"
Sementara pahanya dibuka semakin lebar memberi ruang gerak lebih leluasa buat lidah dan mulutku bergerak.

Kembali aku menjulurkan lidahku menyusup diantara belahan bibir kemaluan Widya sambil dibantu oleh jari-jarinya menguakkan belahan itu semakin lebar.
"Oouuhh.. oouuff.. sstt.., yah begitu sayangg.. terus masukkan lidah kamu lebih dalam..! Yaahh.. teruuss.. ooughh.." erangan Widya terdengar lembut dan bergairah menikmati sentuhan lidahku.
Apalagi petualangan lidahku mulai menyentuh secuil daging kelentit yang sudah terasa semakin keras mencuat keluar dan membuat Widya merintih keras.
"Pramm.., yahh.. betull..! Teruss.., yang lembut sayangg..! Oouff.. eesshhtt.. sstt.. edann..! Enak banget..! Aduuhh.., eesshh.. kamu ternyata.. uuff.. ternyata pintar juga.. eesshhtt.." desahnya tidak berhenti.
Sebenarnya aku hanya mempraktekkan apa yang selama ini kulihat di film BF, bagaimana cara perlakuan oral sex pada liang kemaluan wanita.

Kembali terasa di lidahku lendir yang keluar dari liang kemaluan Widya semakin banyak. Oohh Tuhan! Ternyata betapa nikmatnya rasa lendir kemaluan wanita itu. Aroma harum kemaluan milik Widya semakin tajam menusuk hidungku seiring semakin banyaknya lendir itu membanjir keluar dan membuatku semakin bernafsu terus menjilati seantero kemaluan Widya, terutama klitoris yang berwarna merah muda itu memang sangat membangkitkan hasratku untuk lebih bernafsu menjilatinya. Daging kelentit itu terus kusentil dengan lidahku dengan irama yang teratur, baik ke samping maupun ke atas dan ke bawah.
"Adduuhh.. Praamm.. eesshhtt.. pintar sekali kamu..! Yahh begitu.., teruuss.. duhh Gusti.. nikmat sekali..! Adduuhh.., kayaknya aku mau sampai nih..! Teruss..!" rintihan Widya terdengar semakin keras, dan malah sekarang seperti menjerit kecil, apalagi entah perintah dari siapa, aku yang tadi membuat gerakan menjilat, sekarang mulai memagut kelentit itu dan langsung kukulum layaknya mengulum permen.

Kukulum dan kuemut dengan mulutku daging kelentit milik Widya dengan gemas bercampur nafsu. Kontan tubuh Widya kelojotan, menggelinjang hebat merasakan nikmat yang amat sangat di pusat kenikmatan yang terletak pada kelentitnya. Bongkahan pantat milik Widya yang tadi mendudukidadaku, entah refleks atau apa, sekarang semakin maju dan aku yang tadi agak mengangkat kepala untuk menggarap kemaluannya dengan mulutku, sekarang bisa bersandar pada bantalan sofa di lantai, karena bongkahan pantat Widya sekarang tepat di atas kepalaku. Sekarang posisi tubuh Widya duduk bersimpuh yang mana kepalaku otomatis tenggelam di jepitan kedua pangkal pahanya.

Posisi demikian terus terang membuatku sulit bernafas, apalagi mulutku masih terus mengulum dengan buasnya daging kelentit milik Widya yang sepertinya terasa semakin tegang dan keras.Sementara dari sela-sela bulu kemaluannya, aku masih sempat melihat kedua tangan Widya meremas-remas kedua payudaranya seperti berusaha menambah rangsangan terhadap dirinya. Terlihat juga kepala Widya mendongak ke atas dan kedua bola matanya mendelik-delik serta pupil hitam di matanya sudah tidak terlihat, hanya terlihat warna putihnya saja.
"Pramm.. enngg.. oouukkhh.. esstthh.. Ya ampun Tuhann..! Adduuhh.. yyaahh.. sedikit lagi.. yahh.. uuff.. kkhh.. kk.. ka.. kamu ingin merasakan.., ouuhh.. ingin mencicipi lendirku kaann..? Yaahh.. sedikit lagi.. dikiit lagi sayaangg..! Makanya.., uughh.. emut terus..! Adduuhh.., lebih keras lagi. Yaahh.., terus hisap itilku.., teruuss.. emut yang kuat sayang, yaahh begitu..!" jeritan dan rintihan kenikmatan Widya terdengar putus-putus, sementara aku terus menghisap sambil menarik-narik kuat kelentit itu masuk ke dalam mulutku.

Dan tiba-tiba suara desahan itu berhenti. Sama sekali tidak terdengar jeritan maupun rintihan Widya, yang ada hanya tubuhnya bergetar hebat, kelojotan yang membuat pantat dan pinggulnya bergoyang kesana kemari, namun pagutan dan hisapan mulutku pada kelentitnya tetap tidak kulepaskan, mau tidak mau kepalaku ikut bergerak mengikuti gerakan liar bongkahan pantatnya, padahal tanganku yang dari tadi meremas-remas bongkahan pantat milik Widya itu sudah berusaha menahan gerakan liarnya itu. Aku tetap bertekad mempertahankan posisi mulutku menghisap dan memagut daging kelentit Widya.

Semenit kemudian kelojotan tubuh Widya terhenti, yang kurasakan tubuhnya meregang hebat, kedua pahanya kejat-kejat menghimpit kuat kepalaku yang membuatku sangat sulit untuk bernafas, namun aku rela menahan nafas hanya untuk menanti apa yang terjadi pada saat-saat dimana Widya akan menjemput puncak kenikmatan sejatinya.
Kembali Widya menjerit-jerit, "Aahh.., esshtt.. ituu..! Yahh.. ituu..! Aduuhh.. enakkhh.. enak banget..! Aahh.. esshhtt.. aduuhh.. ini sayangg..! Yaahh.., ini aku keluarin ya..? Oouuffsshhtt.. nikmatt sekalii.., yaahh..!"

Benar saja, beberapa detik setelah itu, terasa di lidahku semburan hangat cairan lendir itu keluar tertangkap di ujung lidahku, mengalir menerobos masuk ke dalam mulutku, terus menyerbu ke dalam kerongkonganku dan langsung kutelan. Benar seperti yang dikatakan Widya, lendir bening yang dikeluarkan lubang kemaluannya benar-benar sangat lezat, gurih dan ada sedikit rasa manis bercampur asin. Sungguh suatu sensasi yang baru pertama kali kualami dalam hidupku.

Entah mungkin ada 5 atau 6 kali mulutku menangkap semburan cairan lendir yang membanjir keluar dari lubang kemaluan Widya. Saking derasnya aliran lendir itu menyembur mulutku sampai tersedak. Dan semburan cairan itu semakin melemah sampai akhirnya berhenti sama sekali, hanya berupa tetesan-tetesan saja yang tentu tidak kulewati begitu saja. Jepitan kedua paha Widya di kepalaku terasa mengendur, hingga aku dapat mengambil nafas panjang. Kuhirup udara dalam-dalam karena ada lebih semenit aku menahan nafas sampai dadaku terasa sesak. Namun pengorbanan itu kuanggap sesuai dengan sensasi dasyat yang kudapatkan melalui hisapan dan jilatan mulut serta lidahku di setiap inchi pada lubang kemaluan Widya, hingga mimpiku bisa menjadi kenyataan untuk merasakan nimatnya, lezatnya, enaknya cairan lendir yang dikeluarkan liang vagina seorang wanita.

Detik berikutnya Widya merebahkan tubuhnya di atas tubuhku, dengan posisi pinggulnya masih menindih dadaku, punggungnya menindih batang kemaluanku tapi kepalanya di atas kakiku dan kedua kakinya menjuntai lurus melewati atas kepalaku. Sementara tubuhku bagian atas mulai dari dada hingga wajah basah oleh cairan lendir yang hangat, terasa melekat pada pori-pori di permukaan kulitku. Dada Widya terlihat naik turun beriringan dengan nafasnya yang naik turun sisa dari kenikmatan yang baru saja dicapainya.

Selang beberapa menit kemudian setelah nafasnya mulai teratur, Widya bangkit dari tubuhku, dan dapat kulihat dengan jelas raut wajahnya yang memerah, dengan rambut yang berantakan, namun justru menambah keseksiannya.
Sambil tersenyum manis, dia berkata kepadaku, "Ouhh Pram.., aku benar-benar nggak menduga, kamu begitu lihai dengan permainan mulutmu, padahal kamu belum pernah selain dengan aku kan..? Apa kamu bohong ya..?"
Aku menyahutnya dengan serius, "Lho kok nggak percaya Mbak..? Memang aku sudah pernah punya pacar 2 kali, tapi demi Tuhan, pacaranku sebatas ciuman thok..! Nggak lebih, swear Mbak..!"
Widya tersenyum geli melihat kepolosanku, "Iya.. ya.. aku percaya..! Lagian seandainya kamu bohong pun, aku nggak keberatan kok, masa bodo..! Yang penting aku enak, habis mulut dan lidah kamu itu lho bikin aku terbang ke awang-awang, nggak tau deh kalau senjata kamu itu bisa bikin aku juga terbang melayang nggak.."

Widya menanggapi keseriusanku dengan kerlingan nakal matanya yang menggoda. Tetapi habis berkata begitu, tangannya meraih batang kemaluanku yang dari tadi berdenyut-denyut. Diusapkannya perlahan batang rudalku dengan jari-jarinya yang lembut. Aku berdebar menanti aksi Widya selanjutnya. Setelah puas mengurut dan meremas-remas kemaluanku, Widya memposisikan tubuhnya berjongkok di atas perutku. Aku masih menduga-duga apa yang akan dilakukannya. Sepertinya dia akan menyusupkan batang kemaluanku pada lubang vaginanya dengan posisi seperti itu. Dadaku semakin berdebar menanti saat-saat dimana aku akan merasakan pertama kali dalam hidupku bagaimana nikmatnya bersanggama dengan seorang wanita.

Seperti tahu akan perasaanku, Widya mencoba membuatku rileks, "Pram.., kok kamu tegang sih..? Santai saja, Mbak maklum kalau kamu tegang begitu, Mbak dulu juga seperti kamu, gelisah dan tegang, nih coba ya..? Kamu tutup mata kamu, tarik nafas dalam-dalam..!" kata-kata Widya terputus begitu ujung di kepala kemaluanku menyentuh sesuatu yang hangat, basah dan kenyal.
Tapi aku tahu itu pasti bibir luar kemaluan Widya. Dengan telaten tangan Widya membimbing batang rudalku untuk mendapatkan posisi yang tepat agar jalan batang kemaluanku menembus liang kemaluannya bisa pas. Begitupun dengan pinggul Widya sedikit digoyangkan, agar posisi ujung kepala kemaluanku bisa tepat dalam jepitan bibir kemaluannya.

Aku memejamkan mata mengikuti nasehat Widya sambil merasakan geli bercampur ngilu. karena menikmati gesekan kulit kepala kemaluanku dengan bibir kemaluannya. Kuatur nafasku, dan, "Bleess..!" begitu Widya menurunkan pinggulnya, terasa batang kemaluanku perlahan menerobos masuk ke dalam lubang vaginanya.
Ohh Tuhann..! terasa begitu lembut dan hangatnya bibir dan dinding kemaluan milik Widya ini mendekap sekujur batang kemaluanku.
"Oouhh.. Mbaakk..!" hanya itu rintihan yang keluar dari mulutku mewakili berjuta kenikmatan yang baru kali ini kurasakan di umurku yang ke 20 tahun.
"Oouuff.., gimana sayaangg.., heehh..? Enaakhh..? Aahh.. sstt.. aduuhh.. gilaa..! Punya kamu.., uuff.. adduhh.., benar kan dugaan Mbak tadi..? Oouugghh.. gila..! Punya kamu gede banget.. tau nggak sih..? Aasshhtt.. Menuh-menuhin bungkusnya, Edaann..! Uuff.. adduuhh.." rintihan Widya bersahutan dengan desahan nikmatku.
"Yahh.., ya Mbakk..! Pantesan ya Mbak.., oouusshh.. pantesan kk.. kata orang making love itu.., aduuhh.. sshh.. nikmat sekali..!"

Perlahan Widya mulai menggerakkan pinggulnya naik turun, sedangkan aku hanya bisa menggigit bibirku merasakan desiran nikmat yang baru kali ini kurasakan. Desiran nikmat itu bertambah seiring dengan semakin cepatnya gerakan naik turun pinggul Widya di pusat selangkanganku. Apalagi begitu gerakan pinggul Widya bukan hanya naik turun, tetapi disertai dengan berputar-putar yang membuat batang rudalku seperti dipelintir. Seluruh sekujur tubuhku bergetar, perasaanku terbang melayang menjemput nikmat yang teramat sangat. Sementara kedua tangannyameremas-remas kedua payudaranya sendiri, seolah ingin menambah rangsangan untuk dirinya sendiri.

Sekitar 5 menit kemudian, gerakan Widya seperti orang kesurupan.
Dia mendesis panjang, matanya terbalik, "Praamm.., uugghh.. esshhtt.. akhh.. akkuu.. hampir.., yaahh.. yaahh.. yaahh.. Gilaa..! Enak bangett..! Oouuff.."
Dan rintihan itu tiba-tiba terhenti, tubuh Widya mengejang, sesaat kemudian Widya menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku, memeluk leherku kencang dan mulutnya melumat bibirku dengan buas. Akusendiri terkejut, entah apa yang dirasakannya. Yang kurasakan bibirku nyeri dilumat oleh bibirnya, dan entah dari mana tiba-tiba pangkal pahaku terasa basah tersembur cairan hangat yang mungkin dikeluarkan oleh vagina Widya.

"Edan kamu Pram..! Hehh.. ssthh.. uuff.., baru kali ini dalam satu babak Mbak kalah dua kali..! Ntar dulu ya..? Oohh.."
Habis berkata begitu, Widya menciumi pipiku lembut dan mesra, sambil tangannya mengelus rambutku yang sudah acak-acakkan.
Widya menatapku dengan matanya yang sayu, "Kayaknya aku kok mulai sayang kamu ya..? Wah gawat nih Mbak nggak ingin kehilangan kamu.." Widya melanjutkan perkataannya.
Aku hanya menatap Widya dengan pandangan bingung, sementara rudalku masih tetap menancap dengan gagahnya di jepitan lubang kemaluan Widya yang sudah sangat becek itu.

"Mbak.., eengg.. Mbak akhh.. ak.. akuu.., ee..," belum tuntas ucapanku, Widya memotong, "Iya sayang, Mbak tau..! Kamu pingin dikeluarin kan..? Kerasa kok di memek mbak, kontol kamu berdenyut-denyut, hi.. hi.. kaciaann..!"
Habis berkata demikian, Widya kembali menciumi wajahku, lalu menjalar ke arah leher, terus ke belakang telingaku.
"Kasian kamu sayang..! Coba deh rasakan ini..?"
Aku hanya bertanya dalam hati, apa maksud dari perkataan Widya baru saja. Namun kebingunganku hanya beberapa detik, karena terjawab oleh remasan otot-otot di kemaluan Widya yang meremas-remas sekujur batang rudalku.

"Oohh.., Mbakk.. uuffss.. Mbak..! Aduhh.. nikmatnya.." desahku tidak menentu.
Kalau dibiarkan, bisa kacau nih, aku bisa keluar tanpa memberikan perlawanan yang berarti.Tanpa mengeluarkan kemaluanku pada vaginanya, tanpa di diduga oleh Widya, aku merubah posisiku, dimana sekarang aku yang di atas menindih tubuh Widya. Kulihat Widya sedikit terkejut, namun dia hanya tersenyum melihat ulahku.
"Gantian ya Mbak..? Sekarang Mbak istirahat aja menikmati semuanya."
Sambil berkata begitu, aku menaikkan kedua kaki Widya yang jenjang itu ke atas pundakku.
"Adduuhh.., kok kamu tau sih posisi gini..? Posisi kayak gini Mbak paling suka lho..! Ayoo..! Kok diam saja..? Mbak 'emut' lagi lho kontol kamu sama memek Mbak, nih rasain..!" ancamnya.
Benar saja, ancamannya betul-betul di buktikan, kembali kurasakan batang rudalku terasa diremas-remas dengan lembut oleh liang kemaluan Widya.

Memang aku kalah jauh pengalaman di bidang seks, namun dasar sifatku yang tidak mau kalah, aku mencoba mengimbangi permainan hisapan vagina Widya. Perlahan kumulai menggerakkan batang kemaluanku keluar masuk di jepitan bibir vagina Widya yang masih terus mengemut batang kemaluanku. Dari gerakan perlahan, aku mencoba menaikkan tempo, semakin cepat rudalku menggelosor maju mundur pada lubang kemaluan Widya. Semakin lama denyutan bibir kemaluan Widya terasa melemah, seiring desahan nafasnya semakin keras terdengar menebar nafsu birahi.
"Iyyaa..! Terus..! Yaahh gituu..! Aduuhh Pramm..! Enak banget..! Terus tambah kenceng..!"
Disela-sela rintihan Widya, aku mendengar kecipak air lendir di setiap hantaman batangkemaluanku yang merojok-rojok seisi relung-relung liang vagina Widya.

Posisi kaki Widya sekarang menjepit punggungku yang otomatis ikut naik turun seirama gerakan naik turunnya pinggulku.
"Oouuhh.., Mbakk..! Aku baru merasakan enaknya ML ya Mbak..? Aduuhh.. enakk.. tenan Mbak..!" aku yang memang baru merasakan nimatnya bersetubuh dengan seorang wanita, benar-benarmerasakan nikmatnya surga duniawi ini.
Detik demi detik tidak kulewatkan, kuresapi betul phenomena ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Pramm.., uuff.. sstt.. Pram.. oohh.., aduhh Gusti..! Adduuhh.. gawat..! Mbak mau.. uuffsshhtt.., Mbak mau keluarr.., yaahh.. teruss..! Dikit lagi.., yaahh.. yaahh.. eesshhtt.. esshh.. aahh..!" terlihat mata Widya membuka lebar, namun yang terlihat hanya putihnya saja, entah dimana pupil hitam di matanya itu, pelukannya tambah erat, dan jepitan kedua kakinya tambah kuat menjepit pinggulku yang semakin cepat menghantam selangkangannya.

Beberapa detik kemudian, kembali kemaluan Widya berdenyut-denyut yang menandakan dia kembali meraih orgasmenya yang ketiga kali. Sedang aku entah dikarenakan denyutan liang kemaluan Widya atau apa, sesaat lagi seperti akan memuntahkan semua isi dari batang rudalku. Benar saja, kenikmatan yang kurasakan itu seperti merambat naik ke puncak dan terpusat pada batang kemaluanku.
"Ooouuhh.., Mbak.., adduuhh.. Mbaakk..! Yaahh.. oouuhh Godd..!" terasa ada aliran pada batang rudalku menuju ujung di kepala kemaluanku, dan, "Sreett.. serr.. sseerr.." entah berapa kali air maniku menyembur dari pucuk kemaluanku menyerbu masuk dan membasahi setiap relung pada dinding kemaluan di seantero lubang kemaluan Widya.

Beberapa menit kemudian, "Mbaakk.., hilang deh perjakaku diambil Mbak Widya..!" aku pura-pura merengek di depannya, sementara batang kemaluanku masih menancap pada lubang vagina Widya.
"Iya deh maaf yaa..? Kamu menyesal..?" Widya menyahut sambil mengecup pipiku dengan perasaan sayang.
Aku hanya menggeleng, lalu disambungnya lagi, "Pram, Mbak serius lho, kayaknya Mbak ada perasaan sayang deh sama kamu. Kepolosan dan kejujuran kamu itu yang membuat Mbak suka kamu. Tadinya Mbak hanya mau membalas perlakuan pacar Mbak itu, tapi kok rasanya malah memang Mbak sayang kamu. Lagian kejantanan kamu jauh di atas dia, Mbak sampai kepayahan menahan gempuran kamu. Kamu tau kan Mbak tadi orgasme sampai tiga kali..?"

Aku mengangguk, "Iya Mbak, aku tahu, Mbak tadi keluarin lendir tiga kali, pertama pakai mulutku, yang kedua dan ketiga pakai si 'Adek'..!"
Aku mengibaratkan batang rudalku dengan sebutan 'Adek'. Mbak Widya tersenyum mendengar perkataanku tadi, "Hemm.., boleh juga tuh, nama kesayangan kontol kamu 'Adek' aja ya..? Iya nih, si 'Adek' bikin Mbak dehidrasi, kekurangan cairan tubuh..!"
Terasa batang rudalku berangsur lemas, dan tidak lama kemudian tercabut dengan sendirinya dari segala kehangatan dan kebasahan pada liang surga milik Mbak Widya ini. Kulihat cairan maniku tumpah kembali keluar bercampur dengan lendir milik Mbak Widya. Sekonyong-konyong Mbak Widya menempelkan telapak tangan kanannya di mulut kemaluannya sendiri.

Aku terbengong menyaksikan ulahnya, "Mau ngapain nih orang..?" batinku.
Seperti mengetahui akan kebingunganku, Widya hanya tersenyum, lalu dia berkata, "Pram, mani seorang perjaka konon rasanya sangat lezat, makanya Mbak ingin mencicipi mani kamu. Toh tadi kamu juga udah ngerasain cairan lendirku kan..? Apa salahnya kalau Mbak juga ingin merasakan dan mencicipi sperma kamu..?"
Setelah dirasa cukup, Widya menarik tangannya yang tadi menutupi selangkangannya, terlihat di telapak tangannya penuh dengan cairan spermaku. Tanpa ragu-ragu cairan sperma di telapak tangannya dibawa ke depan mulutnya dan langsung direguk perlahan, sambil dikecap terlebih dahulu dengan matanya sedikit terpejam, seolah Widya sedang menikmati sebuah minuman terlezat yang pernah dirasakannya.
Diseruput sedikit demi sedikit sampai akhirnya cairan sperma itu habis. Seperti tidak puas, telapak tangannya dijilat seolah tidak rela ada sisa spermaku yang tertinggal di telapak tangannya.
Aku tertegun dan meringis dengan semua ulah Widya, "Nggak jijik toh Mbak..? Apa sih rasanya, kayaknya kok sampai segitunya..?"
Widya langsung menyahut ucapanku, "Lho kamu sendiri tadi apa nggak jijik menghisap habis lendir Mbak..? Hayo..? Air mani kamu bener-bener lezat, gurih nggak seperti air mani pacar Mbak, bau..! Kalau lagi berkencan dengan dia terus sperma dia keluar, Mbak sampai muntah. Gimana ya..? Sperma kamu bener-bener putih dan bersih, Mbak suka banget dengan sperma kamu, bikin Mbak ketagihan deh kayaknya."
Kemudian kami membersihkan diri dan kulihat jam sudah menunjukkan pukul 05:00 dini hari. Sambil berpelukan, kami pun terlelap bersama.
Demikianlah, setelah itu kami masih sering mengulangi perbuatan itu pada beberapa kesempatan, sampai akhirnya Widya kembali ke pacarnya yang dulu dan kudengar mereka akhirnya menikah. Kalau diingat kembali, aku hanya tersenyum sendiri dengan pengalaman pertamaku bersetubuh dengan seorang wanita. Ya, dengan Widya lah pertama kali kurasakan nikmatnya tubuh wanita dan yang merenggut keperjakaanku.
READ MORE - Gairah Pertamaku

Gadis Pemijat

Cerita ini fiksi, nama dan tempat hanya bayangan penulis.

Sabtu awal bulan, di pagi menjelang siang hari tepatnya jam 10:30 yang cerah, aku sudah duduk di rumah makan cepat saji yang cukup populer di Jakarta. Setelah memesan makanan, kupilih tempat duduk dekat kaca, agar dapat melihat situasi di luar. Dari pantulan cermin aku melihat di belakangku ada pria dan wanita. Yang pria sedang membaca surat kabar dengan posisi mengahadap kaca di sampingnya sedangkan wanitanya melahap makanan yang tersaji di hadapannya sehingga tidak ada suara, hanya suara musik yang terdengar sayup-sayup.

Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh, ternyata 
lagi ada pertengkaran, namun suaranya tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita cemburu terhadap pasangannya, namum disanggah oleh si pria. Dia tak mungkin berseligkuh dikarenakan semua penghasilannya sudah diberikan padanya.

Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita berjalan dengan cepat sambil membawa tas plastik merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat. Oh iya, itukan Mbak Indah. Kulihat jam menunjukkan jam 11:30, berarti mulai berdatangan WP di depan rumah makan ini, tetapi ini masih yang juniornya alias yang baru lulus training. Aku sudah tidak memfokuskan ke pembicaraan orang di belakangku. Tak lama sepeda motor berpenumpang melintas dan menurunkan penumpangnya tepat di belakang kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah makan dan hanya tiga blok dari sebuah panti pijat tradisional (Papitra). Dia turun dan memberikan uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan Mbak Anita. Saat Mbak Anna masuk, sebuah bajaj berhenti lagi di belakang kendaraanku. Setelah bajaj berlalu tampak Mbak Ayu, dengan cepat melangkah masuk. Lama kelamaan parkir mulai penuh di sekitar Papitra, dan banyak pengemudi masuk ke situ. Nampak roda kehidupan Papitra mulai berputar.

Tanpa terasa suasana rumah makan mulai ramai. Pengunjung sudah bergantian keluar-masuk. Makananku pun sudah mulai habis. Aku pesan makanan penutup, sambil tidak sedikitpun membuang pandanganku ke arah sekitar mobilku. Bukannya takut kehilangan mobilku, tetapi di situlah rata-rata para WP turun dari kendaraan yang mengangkut mereka - mungkin malu dengan "pengantar"nya bahwa mereka bekerja di Papitra, sedangkan yang naik bis pasti berjalan kaki untuk mencapai tempat bekerjanya.

Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam 13:00. Wp masih berdatangan. Ada yang muda dan kecil, rata-rata mereka menggunakan pakaian serba ketat atau hanya bawahannya saja yang ketat, nanti setelah masuk mereka akan menggunakan pakaian dinasnya yang setiap hari berganti warna tetapi dengan model yang sama, mempunyai bordiran nama di dada kanan sedangkan rok mininya ditulis nama WP dengan spidol di bagian dalam lipatan pinggang. Nah jam segini yang datang biasanya para senior-senior. Ada yang keluar dari taksi sambil bicara dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang digunakan keluaran terbaru.

Tidak berapa lama ada seorang wanita berpakaian ungu muda keluar dari taksi. Begitu taksi pergi, dia jalan menuju ke Papitra. Siapa yah? orang barukah? kataku dalam hati sambil menyentuh daerah antara hidung dan bibir atas dengan telunjuk kiriku - rasa penasaran dan petualanganku mulai tumbuh - dari penglihatanku umurnya kurang lebih sekitar 30 tahun. Yang menarik adalah pinggulnya cukup besar. Bila berjalan seperti bebek, megal megol, seperti orang hamil (??), apa mungkin orang hamil bekerja di Papitra?

Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke Papitra di depan rumah makan itu.
"Hallo selamat siang," suara resepsionis.
"Siang Mbak Ani," jawabku.
"Mau pesan, Pak Budi?" katanya, masih ingat namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang karena nggak ada uang kecil. Dia hanya menyediakan uang terkecil 10.000,- jadi di bawah nilai ini tidak akan dikembalikan - "pemerasan terselubung" alias tip maksa. Aku kalau bertemu dengan orang ini, selalu aku membayar lewat WP, agar kembaliannya tidak jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke tangan WP - khan dia yang "memeras").

"Mbak Ani, yang barusan baru masuk menggunakan baju ungu siapa sih?" tanyaku.
"Oh itu Mbak Desi," jawabnya.
"Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?" tanyaku sambil menebak.
"Emang bener, Pak," jawabnya.
"Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih, kalau lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?" tanyaku mendesak.
"Dalam kamar siapa yang tahu Pak?" jawabnya diplomatis, benar juga.
"Sudah ada yang pesan?" tanyaku, jadi ingin coba, karena rasa keingintahuanku.
"Belum, Pak Budi mau pesan?"
"Iya deh."
"Untuk jam berapa?"
"Hmm," mikir dikit, dia baru sampai, butuh istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah 30 menit cukup lah.
"Setengah jam lagi deh Mbak," jawabku.

Empat puluh lima menit kemudian aku sudah tanpa baju hanya menggunakan CD dengan isi sudah pada posisi. Tidur telungkup menghadap tembok di kamar lantai tiga ukuran 2x3 dengan penyejuk ruangan. Tak lama tirai dibuka dan ditutup kembali.

"Selamat siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku sambil menolehkan muka ke arah atas, tetapi tetap tidur telungkup.
"Mau minum apa?" tanyanya, sambil meletakkan barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan cairan pelicin untuk pijat di atas satu-satunya sofa yang ada di ruang itu.
"Air mineral nggak dingin," jawabku. Dia keluar dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia tidak menanyakan pijat berapa jam, karena aku berada di ruang VIP yang mempunyai waktu minimal satu setengah jam.

Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya (padahal suhu ruang cukup dingin). Menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali, mungkin terlalu lama berdiri saat memijat tadi, sehingga dia naik ke tempat tidur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa pahanya dibungkus dengan celana ketat, saat bersentuhan dengan pahaku.

"Kamu nggak pernah diisengin sama tamu, Mbak?" tanyaku.
"Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!" katanya.
"Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?" tanyaku.
"Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama kambing kataku, ngomongnya kasar banget," jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau dia disanjung, diajak bicara yang indah-indah, pasti akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik dengan wanita siapapun dia, pasti kalau kamu minta sesuatu dengannya akan diberikan.
"Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat, membuyarkan lamunanku.

Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata.
"Pakai krim nggak, Pak?" tanyanya.
"He em," kataku.
"Maaf Pak," katanya sambil melipat CD-ku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. "Tolong dilepas aja Mbak," kataku. Dia menarik handuk dan melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku sekarang. Dia mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian..

"Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi," ijinnya untuk ke tiga kalinya.
"Ya" jawabku singkat, tanpa protes, karena aku memaklumi, karena saat hamil kandung kemih tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain yang aku nggak tahu.
"Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini," katanya saat masuk ke kamar.
"Aku maklum kok, Mbak," jawabku.

Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah selesai dia mengeringkan krim dengan handuk, karena kakiku cukup banyak bulunya dia menaburi bedak bayi di seluruh permukaan ke dua kaki (kalau dilihat nggak ubahnya seperti bayi yang habis mandi terus dibedaki), sehingga minyaknya bergabung dengan bedak, kemudian di gosok dengan handuk satunya lagi, hasilnya lumayan kering.

Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin karena beratnya menahan perut sehingga lebih baik sambil duduk di tempat tidur guna mengistirahatkan kedua kakinya). Wanita lagi hamil mana ada yang memakai rok mini, biasanya selalu serba longgar kan, kecuali wanita yang saat ini ada di atas pantatku.

Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk, akhirnya dia mengangkangiku sehingga dia menduduki pantatku (asli lho, duduk plek, soalnya berat banget) dengan berlapiskan handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi anehnya kok sudah tidak memakai celana ketatnya lagi. Setelah punggung rata dengan krim dia mulai memijat. Posisi memijat adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena gaya pijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser tepatnya terpeleset ke arah pangkal paha, kan ada sedikit bekas krim serta berat tubuhnya yang lumayan berat.

Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan roknya. Sewaktu gaya maju - saat mengurut dari pinggang ke arah pundak - dia terpeleset lagi. Sewaktu mengembalikan pantatnya ke pantatku sudah tanpa handuk, sebab irama pijatannya sudah agak cepat, jadi kalau sebentar-sebentar ngurusin handuk nggak selesai-selesai mijatnya.

Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya sudah tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng, aku menoleh ke belakang bawah.

"Sudah, nggak usah lihat-lihat," kata Mbak Desi, tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok dengan roknya sudah di pinggang sementara di atas pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa bulu (dicukur) nggak seperti bagasi mobilku, lebih tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin, nggak pakai celana!

Aku ikutin perintahnya, prajurit muda lebih mengandalkan tenaga, berhadapan langsung, dan menekan sebaliknya prajurit tua lebih mengandalkan pikiran, menghindari kontak langsung, cenderung mengikuti (bukan mengalah), hasilnya tak jauh beda dengan yang muda hebatnya lagi tanpa keluar tenaga.

"Kenapa kok nggak pakai CD sih? Kamu khan lagi hamil," tanyaku.
"Habis capek tiap kencing harus melorotin celana ketat. Tadi sewaktu keluar yang ke tiga udah kebelet banget jadi pas masuk nggak ketahan keluar. Yah sudah basah, mau pakai cadangan ada di lemari bawah, naik turun kan capek Mas. Tadi kencing pertama aja udah nggak bisa jongkok," jawabnya panjang lebar. Perhatikan, panggilan sudah berubah. Artinya dia sudah mulai mengenal. Pantes saat kontak dengan pahanya terasa dingin kemungkinan dari air saat membasuh setelah kencing.

"Memangnya kenapa? Khan ada toliet jongkok," kataku.
"Toliet khan jorok Mas bekas orang banyak, jadi kencingnya sambil berdiri tetapi kakinya dibuka lebar biar nggak kena," jawabnya.
"Kamu nggak takut kerja tanpa CD?" kataku.
"Aku tadi diberi tahu sama Mbak Anita, kalau Mas orangnya nggak reseh," katanya.
Ha ha, belum tahu dia, jawabku dalam hati. Mungkin pergantian panggilan tadi berubah setelah ada sekilas info dari Mbak Anita. Setelah selesai memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim dengan cara seperti tadi.

"Mas balik," katanya.
Aku segera membalikkan badanku, sambil kulihat wajahnya, dia tidak melihatku, tetapi melihat kemaluanku yang masih "bobo siang" sambil menutupnya dengan handuk kecil.
"kok dicukur Mas?" tanyanya setelah melihat burung yang tanpa bulu.
"Kamu sendiri kenapa kok dicukur?" tanyaku.
"Kalau ditanya dijawab dulu dong Mas!" katanya.
"Yah biar bersih aja," jawabku.
"Apa nggak geli Mas dicukur gitu?" tanyanya.
"Eh, kamu nanya terus kapan jawabnya?" tanyaku. Dianya tersenyum. Bibir bagian bawahnya (yang di wajah yah) lumayan tebal ada belahan di bagian tengahnya. Bibirnya dibalut pewarna berwarna pink, kontras dengan kulit putihnya. Matanya bulat sekali.
"Yah biar bersih juga. Nanti kalau sewaktu-waktu melahirkan, nggak buru-buru mencukurnya. Mas aku ke toilet dulu yah?" jawabnya sembari ijin yang ke empat kalinya.

Kalau melihat posisi kandungannya sih udah di bawah, nampak sudah waktunya. Dia masuk ke kamar, dan naik ke atas tempat tidur, meminggirkan ke dua kakiku, sehingga bisa duduk di pinggi tempat tidur.

"Berapa usia kandunganmu?" tanyaku.
"Tujuh bulan lewat, Mas," jawabnya.
"Suamimu kok tega, udah seperti ini kok masih disuruh kerja," tanyaku.
"Lebih tega lagi Mas, dia tidak mengakui ini hasilnya, dan pergi begitu saja," jawabnya sambil menunduk dan terus memijat.
"kok nggak di batalin aja?" tanyaku lagi.
"Biarin deh Mas, umurku sudah semakin tua, nanti nggak ada yang ngurus aku. Biarin deh aku usahakan sendiri," jawabnya kalem bersamaan dengan selesainya mengeringkan salah satu kaki. Setelah kering dia menggosok betisku yang berbulu dengan handuk, kemudian mengangkangi kakiku tadi dan menggosok pahaku dengan handuk, dan terasa bulu betisku terasa beradu dengan sesuatu yang kasar. Aku pura-pura tidak tahu dan kuperhatikan wajahnya tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi di balik handuk yang menutupi kemaluanku, seperti ada yang sedang mendirikan tenda.

Dia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi. Juga acara gesek-menggesek, sehingga makin sempurnalah rubuhnya tenda. Yah, dalam posisi terlentang kalau lagi "konak" nggak mungkin tegak sembilan puluh derajat, yang ada juga posisi jam sepuluh kurang sepuluh menit. Setelah selesai dengan kaki, diturunkan handuk kecil hingga menutupi kemaluanku saja dan..

"Perutnya dipijat Mas?" tanyanya.
"Terserah," jawabku. Repot juga dia akan memijatnya, kalau sambil berdiri dia akan capek kalau dari samping membutuhkan tenaga yang lumayan banyak untuk menekan badanku. Yah terpaksa dia mengangkangi kemaluanku yang hanya dilapisi handuk kecil. Mulai memijat dari arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak. Perlahan-lahan, semakin lama irama agak dipercepat.

Aku tidak tahu apakah percepatannya disebabkan prosedur pijatnya, ataukah ganjalan di kemaluannya yang semakin keras dan berdenyut-denyut. Disengaja atau tidak posisi batang kemaluanku berada di sela-sela bibir kemaluannya, hanya dipisahkan oleh handuk.

"Mas, kata Mbak Anita sama Mbak Anna, kalau ke sini nggak pernah main, kenapa sih?" tanyanya.
"Yang pentingkan puas Mbak, nggak main aja puas kok," jawabku.
"Kalau sekarang aku ingin main sama Mas, gimana?" tanyanya.
Sewaktu berkata demikian, handuk sudah hilang sebagai pembatas. Hilangnya bukan ditarik tetapi terdorong oleh goyangan pantatnya. Jadi antara batangku dan bibirnya melekat.
"Berapa tips-nya?" tanyaku. Dia sudah menggoyangkan pinggulnya, kesepakatan belum terjadi pekerjaan sudah dimulai. Sebagai gambaran, bibir bawahnya lumayan tebal dan sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum hamil (orang hamil lebih cepat basahnya karena kelenjar yang memproduksi lendir tertekan oleh kandungan).
"Seperti yang Mas berikan dengan Mbak Anita atau Mbak Anna," katanya. Wah dilarang dumping harga rupanya di sini.
"Ya, sudah," kataku. Begitu selesai aku bicara, bersamaan dengan mulai masuknya kemaluanku ke dalam kemaluannya. Ups, licin sekali (jadi ingat main bola saat kecil di tanah lapang dari tanah liat, nggak pernah membawa bola jauh, selalu terpeleset apalagi bila bertemu lawan pasti jatuh) tapi agak longgar, mungkin karena tekanan kandungan, dan ada sesuatu yang menyentuh di ujung kemaluan seperti ada benjolan di bagian dalam kemaluannya. Ternyata mulut rahimnya juga sudah turun.

Dia tidak melakukan gerakan naik turun, mungkin sudah terlalu lelah, jadi hanya bergoyang-goyang, tetapi goyangannya semakin lama semakin merunduk, bak padi yang semakin berisi, di kepalanya semakin berat, terdongak ke belakang, sementara pahanya terbuka sangat lebar mengingat perut besarnya. Dia berusaha agar klitorisnya bergesekan dengan bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang kemaluanku. Beberapa menit kemudian dia membalikkan badannya tanpa melepas batangku yang tertanam. Sekarang dia menghadap ke kakiku. Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun, tetapi menekan serta menggesek lubang anusnya yang agak keluar, bukan ambein lho, tetapi itu tekanan kandungan, sehingga lapisan bagian dalam anus yang lembut tergesek oleh bulu kemaluanku. Dia tidak mengeluarkan suara, tepatnya menahan lenguhannya, agar tak terdengar di luar kamar. Hanya deru nafasnya yang berfrekuensi tinggi, isap buang isap buang, semua dilakukan melalui hidung. Mungkin mulutnya dikunci dengan menggigit bibir bawahnya takut tak sengaja keluar suara.

Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya. Tidak berapa lama aku pun keluar juga. Dia diam sejenak menikmati semburan spermaku. Setelah selesai, sudah tidak ada semburan dia mengangkat pantatnya, dan saat batangku telepas dari lubangnya, dia berusaha menjepit labia minoranya dengan jarinya tetapi tetap aja ada yang berjatuhan spermaku yang agak kental di kemaluanku.

"Banyak banget sih Mas?" tanyanya, sambil membersihkan vaginanya yang tembem banget dan nonong, tetapi masih mengangkang di atas kemaluanku.
"Iya udah lama nih nggak dikeluarin," jawabku, sambil membersihkan spermaku yang berjatuhan.
"Kamu suka nyabu?" tanyanya, sambil turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati.
"Suka nyapu rumah, nyapu halaman," jawabku. Dia tersenyum.
"Maksudku narkoba," katanya.
"Nggak, kenapa sih?" kataku.
"Pantes. Udah keluar kok nggak mengecil, masih besar dan keras," katanya.
"Sok tahu" kataku.
"Eh iya lho Mas, aku punya tamu dia habis nyabu (sekarang sudah jadi trend memakai narkoba di kamar Papitra, kadang bersama WP-nya) aduh setengah mati aku ngeluarin pejunya," katanya polos. Wah habis "O" ngomongnya udah nggak terkontrol nih sih Mbak. Saat aku bangun memang sih kemaluanku masih keras dan berdiri hanya sembilan puluh derajat ditunjang dengan beberapa urat yang menonjol.

"Terima kasih yah, Mbak. Kamu lagi hamil gini, semua tamu kamu perlakukan seperti ini semua?" tanyaku.
"Yah nggak Mas, kebetulan aku udah lama nggak ngewe, terus lihat punya Mas keras banget, udah gitu aku dapat info dari Mbak-Mbak kalau kamu kalau ke sini nggak pernah main, tetapi bayar penuh, artinya khan Mas orang bersih."
"Oh, jadi di kamar tunggu WP, banyak saling tukar informasi yah?"
"Harus itu, biar kita nggak salah, yang lebih penting lagi ini," katanya sambil menunjukkan leleran sperma yang meleleh keluar dari vaginanya.
"Maksudmu?" kataku nggak mudeng.
"Aku taruhan sama Mbak-Mbak yang pernah sama Mas, lumayan sepuluh ribuan sepuluh orang, ini sebagai bukti bahwa kamu main sama aku," katanya.
Ha, kaget aku. Wah gila aku dijadikan obyek judi, dasar.
"Sebentar Mas, aku ke toilet," katanya. Aduh bukan tamunya yang didulukan, malah dia yang duluan.

Nggak lama dia masuk, dan..
"Nih aku bawain handuk yang baru," katanya dengan wajah yang kelihatan seneng banget.
"Katanya nggak kuat naik turun, kok sudah bawa handuk bersih dari bawah?" tanyaku.
"Khan minta tolong sama room boy," katanya.
"Nah tadi ngambil CD minta tolong aja sama dia," kataku.
"Nggak enak lagi Mas nanti dikira macam-macam, lagian khan tadi belum ada modal buat nyuruh room boy," katanya.
"Maksudnya?" tanyaku lagi.
"Khan menang taruhan, yah bagi-bagi rejeki. Aku kasih uang room boy-nya untuk ambil handuk, mereka kalau nggak ada uangnya nggak gerak Mas!" katanya. Aku geleng-geleng.
"Iya setali tiga uang sama kamu, kalau nggak ada uang juga nggak goyang," kataku tapi dalam hati.
"Mbak Desi, kok kamu duluan sih ke kamar mandi?" tanyaku sambil memakai kimono dan membawa handuk serta sabun.
"Aku tadi buru-buru ke sebelah ngasih tahu sama Mbak Anita, kalau dia kalah taruhan dengan menunjukan sperma Mas yang ngucur dari memekku," katanya. Waduh udah kotor nih mulut Mbak Desi, mungkin terlalu gembira dengan kemenangannya dan "O"-nya.
Setelah mandi, berpakaian dan memberikan tips, aku bilang, "Kamu dapat tiga aku Cuma satu lho, Mbak!" kataku.
"Iya deh, lain kali aku kasih bonus," katanya, tahu maksudku kalau dia dapat tips, menang taruhan dan "O"-nya.
"Janji yah, makasih Mbak," kataku, sambil aku cium pipi kiri dan kanannya.
Saat turun ke depan resepsionis Mbak Desi mengikuti di sampingku, guna memberi tahu ke resepsionis berapa jam dan minum apa.

Aku bayar tagihanku dan tak lupa kuberikan lebihan buat Mbak Ani.
"Terima Kasih Pak," katanya. Saat aku membalikkan badan untuk menuju pintu keluar, sekilas aku melihat beberapa pasang mata di ruang tamu memandang bergantian antara aku dan Mbak Desi. Apa ada yang aneh? Oh mungkin lihat perutnya Mbak Desi yang nonong sementara tamunya terlihat "segar" sekali.
READ MORE - Gadis Pemijat
 

Mengenai Saya

Most Reading

Powered by Blogger.